PENOKOHAN
1. UNSUR
PENOKOHAN DALAM FIKSI
Sama
halnya dengan unsur plot dan pemplotan, tokoh dan penokohan merupakan unsur
yang penting dalam karya naratif. Unsur plot tidak juga dapat diabaikan begitu
saja karena kejelasan mengenai tokoh dan penokohan dalam banyak hal tergantung
pada pemplotannya.
a. Pengertian
dan Hakikat Penokohan
Dalam
pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan
penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara
bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah
tersebut, sebenarnya, tidak menyaran pada pengertian yang persis sama, atau
paling tidak dalam tulisan ini akan dipergunakan dalam penngertian yang
berbeda, walau memang ada diantaranya yang sinonim. Ada istilah yang pengertiannya menyaran pada
tokoh cerita, dan pada “teknik” pengembangannya dalam sebuah cerita.
Istilah
“tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap
pertanyaan : “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”,
atau “Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam novel itu?”, dan
sebagainya. Seperti dikatakan oleh Jones (1968 : 33), penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Penggunaan
istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa inggris
menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita
yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan
prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton, 1965 :17). Dengan
demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan
“perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
b. Kewajaran
Fiksi
adalah suatu bentuk karya kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan
mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan
kreativitasnya. Singkatnya, pengarang bebas untuk menampil dan memperlakukan
tokoh siapa pun dia orangnya walau hal itu berbeda dengan “dunianya” sendiri di
dunia nyata. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan
penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan
kepada pembaca.
c. Keseperti
hidupan
Masalah
kewajaran tokoh cerita sering dikaitkan dengan kenyataan kehidupan manusia
sehari-hari. Seorang tokoh cerita dikatakan wajar, relevan, jika mencerminkan
dan mempunyai kemiripan dengan kehidupan manusia sesungguhnya (lifelike). Tokoh cerita hendaknya
bersifat alami, memiliki sifat lifelikeness,
“kesepertihidupan”, paling tidak itulah harapan pembaca. Hal itu disebabkan
dengan bekal acuan pada kehidupan realitas itulah pembaca masuk dan berusaha
memahami kehidupan tokoh dalam dunia fiksi.
d. Tokoh
Rekaan vs Tokoh Nyata
Tokoh-tokoh
cerita yang ditampilkan dalam fiksi, sesuai namanya, adalah tokoh rekaan, tokoh
yang tidak pernah ada di dunia nyata. Namun, dalam karya tertentu, kita juga
sering menemukan adanya tokoh-tokoh sejarah tertentu---artinya, tokoh manusia
nyata, bukan rekaan pengarang---muncul dalam cerita, bahkan mungkin
mempengaruhi plot.
e. Penokohan
dan Unsur Cerita yang lain
Fiksi
merupakan sebuah keseluruhan yang utuh dan memiliki ciri artistik. Keutuhan dan
keartistikan fiksi justru terletak pada keterjalinannya yang erat antar
berbagai unsur pembangunnya. Penokohan itu sendiri merupakan bagian. Unsur,
yang bersama dengan unsur-unsur yang lain membentuk suatu totalitas. Namun
perlu dicatat, penokohan merupakan unsur yang paling penting dalam fiksi. Ia
merupakan salah satu fakta cerita di samping kedua fakta cerita yang lain.
Dengan demikian, penokohan mempunyai peranan yang besar dalam menentukan
keutuhan dan keartistikan sebuah fiksi.
f. Penokohan
dan Pemplotan
Dalam
kehidupan sehari-hari manusia, sebenarnya, tak ada plot. Plot merupakan sesuatu
yang bersifat artifisial. Ia pada hakikatnya hanya merupakan suatu bentuk
pengalaman, yang sendiri sebenarnya tidak memiliki bentuk. Penokohan dan
pemplotan merupakan dua fakta cerita yang saling mempengaruhi dan
menggantungkan satu dengan yang lain. Plot adalah apa yang dilakukan tokoh dan apa yang menimpanya. Adanya kejadian
demi kejadian, ketegangan, konflik, dan sampai ke klimaks---yang notabene
kesemuanya merupakan hal-hal yang esensial dalam plot---hanya mungkin terjadi
jika ada pelakunya. Menghadapi keadaan semacam ini, Henry James, yang notabene
seorang sastrawan itu, (Abrams, 1981:137), mengatakan : “What is character but the
determination of incident? What is incident but illustration of character?”.
Jadi, menurut Henry James, jati diri seseorang tokoh ditentukan oleh
peristiwa-peristiwa yang menyertainya, dan sebaliknya, peristiwa-peristiwa itu
sendiri merupakan pelukisan tokoh.
g. Penokohan
dan Tema
Tema,
seperti dikemukakan sebelumnya, merupakan dasar cerita, gagasan sentral, atau
makna cerita. Dengan demikian, dalam sebuah fiksi, tema bersifat mengikat dan
menyatukan keseluruhan unsur fiksi tersebut.
h. Relevansi
Tokoh
Berhadapan
dengan tokoh-tokoh fiksi, pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu
seperti merasa akrab, simpati, empati, benci, antipati, atau berbagai reaksi
afektif lainnya. Pembaca tak jarang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh
yang diberinya rasa simpati dan empati. Pembaca telah merasa akrab betul dengan
tokoh itu, atau bahkan seolah-olah telah menjadi bagian hidupnya.
2. PEMBEDAAN
TOKOH
Tokoh-tokoh
cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan
berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut
pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja dikategorikan ke dalam beberapa
jenis penamaan sekaligus, misalnya sebagai tokoh
utama-prontagonis-berkembang-tipikal.
a. Tokoh
Utama dan Tokoh Tambahan
Dilihat
dari “segi peranan” atau “tingkat pentingnya” tokoh dalam sebuah cerita, ada
tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa
mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh-tokoh yang hanya
dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam
porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh
utama cerita (central character, main
character), sedang yang kedua adalah
tokoh tambahan (peripheral character).
Tokoh
utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang
bersangkutan. Pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih
sedikit. Tidak dipentingkan. Dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan
tokoh utama.
b. Tokoh
Prontagonis dan Tokoh Antagonis
Jika
dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya
tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat
dibedakan ke dalam tokoh prontagonis dan tokoh antagonis. Tokoh prontagonis
adalah tokoh yang kita kagumi---yang salah satu jenisnya secara populer disebut
hero---tokoh yang merupakan pengewajawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang
ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis, 1966:59). Tokoh penyebab terjadinya
konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis, barangkali dapat disebut,
beroposisi dengan tokoh prontagonis, secara langsung maupun tak langsung,
bersifat fisik maupun batin.
Pembedaan
antara tokoh utama dan tambahan dengan tokoh prontagonis dan antagonis sering
digabungkan, sehingga menjadi tokoh utama---prontagonis, tokoh
utama---antagonis, tokoh tambahan---prontagonis, dan seterusnya. Pembedaan
secara pasti antara tokoh utama prontagonis dengan tokoh utama antagonis juga
sering tidak mudah dilakukan. Pembedaan itu sebenarnya lebih bersifat
penggradasian.
c. Tokoh
Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan
perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh sederhana (simple, atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character) pembedaan tersebut berasal dari Forster dalam
bukunya Aspects of the Novel yang terbit pertama kali 1927. pembedaan
tokoh kedalam sederhana dan kompleks (Forster, 1970:75) tersebut kemudian
menjadi sangat terkenal.
Tokoh
sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu
kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh sederhana
dapat melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat
dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan telah diformulakan itu.
Tokoh
bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana, adalah tokoh yang
memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian
dan jati dirinya. Ia dapat saja memilki watak tertentu yang dapat
diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku
bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga.
d. Tingkat
Kompleksitas
Pembedaan
tokoh cerita kedalam sederhana dan kompleks sebenarnya lebih bersifat teoretis,
sebab pada kenyataannya tidak ada ciri perbedaan yang pilah di antara keduanya.
Perlu pula ditegaskan bahwa pengertian tokoh sederhana dan kompleks tersebut
tidak bersifat pengontrasan. Artinya, tokoh sederhana bukan sebagai kebalikan
atau dalam pertentangannya dengan tokoh kompleks. Perbedaan antara sederhana
dan kompleks itu lebih bersifat penggradasian. Berdasarkan kompleksitas watak
yang dimiliki para tokoh. Misalnya, sederhana, agak kompleks, lebih kompleks,
kompleks, sangat kompleks. Jadi, ia lebih merupakan deskripsi tingkat
intensitas kekompleksan perwatakan seorang tokoh itu.
e. Fungsi
Tokoh
sederhana, seperti dikemukakan di atas, tampak kurang sesuai dengan realitas
kehidupan sebab tidak ada seorang pun yang hanya memiliki satu sifat tertentu.
Tokoh bulat, dalam sebuah novel biasanya lebih menarik daripada tokoh
sederhana. Tokoh sederhana tetap diperlukan kehadirannya dalam sebuah novel.
Tampaknya hampir tidak mungkin sebuah karya hanya melulu menampilkan tokoh
kompleks tanpa sama sekali terdapat tokoh sederhana.
Perlu
dicatat juga bahwa tokoh sederhana akan mudah dikenal dimanapun dia hadir dan
mudah diingat oleh pembaca, dan hal ini menurut Forster (1970:76-7) merupakan
keuntungan penampilan tokoh tersebut.
f. Tokoh
Statis dan Tokoh Berkembang
Berdasarkan
kriteria “berkembang atau tidaknya perwatakan” tokoh-tokoh cerita dalam sebuah
novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis, tak berkembang (static character) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis
adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi
(Altenbernd & Lewis, 1966: 58). Tokoh berkembang, di pihak lain, adalah
tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan
perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara
aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun
yang lain, yang kesemuanya itu akan
mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. Adanya perubahan-perubahan
yang terjadi di luar dirinya. Dan adanya hubungan antar manusia yang memang
bersifat saling mempengaruhi itu, dapat menyentuh kejiwaannya dan dapat
menyebabkan terjadinya perubahan dan perkembangan sikap dan wataknya.
g. Tokoh
Tipikal dan Tokoh Netral
Berdasarkan
kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari
kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal (typical character) dan tokoh netral (neutral character). Tokoh tipikal adalah
tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih
banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya (Altenbernd &
Lewis, 1966:60), atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili.
Tokoh
netral, di pihak lain, adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu
sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan
bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir (atau dihadirkan) semata-mata demi
cerita, atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan
yang diceritakan. Kehadirannya tidak berpretensi untuk mewakili atau
mengambarkan sesuatu di luar dirinya, seorang yang berasal dari dunia nyata,
atau paling tidak, pembaca mengalami kesulitan untuk menafsirkannya sebagai
bersifat mewakili berhubung kurang ada unsur bukti pencerminan dari kenyataan
di dunia nyata.
3. TEKNIK
PENULISAN TOKOH
Secara
garis besar teknik penulisan tokoh dalam suatu karya atau lengkapnya; pelukisan
sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan
dengan jati diri tokoh---dapat dibedakan kedalam dua cara atau teknik, yaitu
teknik uraian (telling) dan teknik ragaan (showing) (Abrams, 1981:21), atau
teknik penjelasan, ekspositori (expository) dan teknik diskursif (discursive),
dramatik, dan kontekstual (Kenny, 1966:34-6). Teknik yang pertama---juga pada
yang kedua, walau terdapat perbedaan istilah, namun secara esensial tidak
berbeda---menyaran pada pelukisan secara langsung, sedangkan teknik yang kedua
pada pelukisan secara tidak langsung.
a. Teknik
Ekspositori
Seperti
dikemukakan diatas, dalam teknik ekspositori, yang sering juga disebut teknik
analitis, pelukisan tokoh cerita ditambahkan dengan memberikan deskripsi,
uraian, atau penjelasan secara langsung.
Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara
tidak berbelit-belit. Melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi
kediriannya, yang mungkin berupa sikap, watak, tingkah laku, atau bahkan juga
ciri fisiknya.
b. Teknik
Dramatik
Penampilan
tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada
drama, dilakukan secara tak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan
secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan
(baca: menyiasati) para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri
melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun
nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang
terjadi.
c. Teknik
Cakapan
Percakapan
yang di lakukan (baca: diterapkan pada) tokoh-tokoh cerita biasanya juga
dimaksudkan untuk menggambar sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk
percakapan dalam sebuah karya fiksi, khususnya novel, umumnya cukup banyak,
baik percakapan yang pendek maupun yang (agak) panjang. Tidak semua percakapan,
memang mencerminkan kedirian tokoh, atau paling tidak, tidak mudah untuk
menafsirkannya sebagai demikian. Namun, seperti dikemukakan di atas, percakapan
yang baik, yang efektif, yang lebih fungsional, yang menunjukkan perkembangan
plot dan sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.